berbagi

Heboh!! klik aja

Artikel memahami urgensi konseling lintas budaya dalam kehidupan multikultural

Memahami urgensi konseling lintas budaya dalam kehidupan multikultural
Citra Madian Ramadhani       (15130048)
Bimbingan dan konseling

Ringkasan materi
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan
Kata Kunci : Memahami urgensi konseling lintas budaya dalam kehidupan multikultural



Pendahuluan
Perkembangan manusia yang sangat pesat membuat kehidupan manusia semakin berubah. Kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang kemudian semakin meluas, dan mengakibatkan percampuran budaya baru yang semakin memperkaya suatu bangsa. Teknologi kounikasi dan transportasi yang semakin berkembang membuat manusia juga semakin maju dalam kebudayaan dn peradabannya. Perbedaan suatu budaya sering menjadi masalah di dalam kehidupan masyarakat jika antar masyarakat kurang mengerti keberagaman bedaya.
Keragaman budaya ini pada kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya.  Adanya keragama budaya merupakan realitas hidup, yang tidak dapat dipungkiri mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang termasuk di dalamnya adalah aktivitas konseling.Karena itu, dalam melakukan konseling, sangat penting untuk mempertimbangkan budaya yang ada. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran budaya dalam praktek konseling masih sangat kurang. Hal ini sangat berbahaya konseling yang tidak mempertimbangkan budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Menurut Freire, pendidikan yang tidak melihat budaya klien adalah pendidikan yang menindas. Kesadaran budaya harus menjadi tujuan pendidikan, termasuk konseling yang lebih mengena.

Metode
Pada artikel ini saya mencari dan mengumpulkan informasi dari web


Pembahasan
  Multikulturalisme merupakan istilah yang isi konsep atau pengertiannya sangat luas, kompleks, dan memiliki tingkat abstraksi yang tinggi, seperti kata ”multi” yang terdapat dalam kata multikuturalisme. Multikulturalisme tentu saja berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan. Maka di dalam pengertian (konsep) multikulturalisme bisa dimengerti bila batasan atau definisi tentang multikulturalisme beragam dan bermuatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. Sebuah definisi pada umumnya dibuat dengan tujuan atau kepentingan tertentu. Ada definisi yang dibuat dengan maksud dapat digunakan secara luas atau umum. Ada pula sebaliknya, definisi dibuat dengan tujuan khusus. Berikut ini adalah beberapa definisi mengenai multikulturalisme.
“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174). Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000). Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).

Konseling Multikultural dan Lintas Budaya
Multikulturalisme merupakan istilah yang isi konsep atau pengertiannya sangat luas, kompleks, dan memiliki tingkat abstraksi yang tinggi, seperti kata ”multi” yang terdapat dalam kata multikuturalisme. Multikulturalisme tentu saja berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan. Maka di dalam pengertian (konsep) multikulturalisme bisa dimengerti bila batasan atau definisi tentang multikulturalisme beragam dan bermuatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
Konseling Multikultural adalah konseling dimana penasehat konseling kliennya adalah berbeda secara kultural. Oleh karena secara sosialisasi berbeda dalam memperoleh budayanya, subkultural, rasial ethnic, atau lingkungan sosial ekonomi.Konseling Multikultural meliputi situasi dimana kedua-duanya penasehat/konselor dan klien adalah individu-individu yang berbeda budayanya, atau penasehat dan klien sesuai rasnya dan secara etnis serupa, namun memiliki keanggotaan kelompok budaya berbeda berdasar misalnya variabel jenis kelamin, orientasi seksual, faktor sosial ekonomi, orientasi religious, atau usia.
Dalam mendifinisikan konseling lintas budaya, kita tidak dapat terlepas dari istilah konseling dan budaya. Dalam konseling ada 4 elemen pokok:
1.      Adanya hubungan;
2.      Adanya individu atau lebih
3.      Adanya proses;
Membantu ndividu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

Dalam pengertian budaya ada 3 elemen:
1.      Merupakan produk budidaya;
2.      Menentukan ciri seseorang;
3.      Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Dalam proses konseling sangat rawan terjadinya bias-bias budaya (cultural biases) pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan dengan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang sponsif secara kultural. Dari segi ini, maka konseling pada dasarnya merupakan “sebuah perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien yang dilayaninya. Di dalam konseling multikultural, hasil-hasil yang ingin dicapai tidak boleh dihalangi oleh perbedaan budaya konselor dan klien.
Persoalan-Persoalan Kultural
Beberapa persoalan yang sering diperdebatkan mucul ketika membicarakan konseling dalam konteks keragaman etnis dan ras. Wilayah perbedaan utam terletak pada seberapa jauh konselor harus memiliki pengetahuan khusus tentang dan kepekaan terhadap hubungan-hubungan ras untuk dapat memberikan konseling secara efektif.
1.      Kesadaran terhadap asumsi-asumsi, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, prasangka-prasangka, dan keberatsebelahan
Sebagai konselor percayaa bahwa pengalaman dan keterampilan konseling sudah memadai sebagai bekal untuk menjalankan prses konseling ang efektif dengan klien mana pun. Sementara itu sebagian lainnya berpendaat bahwa penting bagi konselor untuk memahami hubungan-hubungan antara berbagai budaya dan memiliki pengetahuan tentang latar belakang historis dari kelompok-kelompok ras yang berbeda agar memiliki kapabilitas memberikan konseling terhadap orang-orang dari berbagai kelompok ras.
2.      Pen-stereotip-an
Ketika memberikan jasa konseling pada klien dari budaya-budaya yang berbeda dengan budaya kita, kita harus menyingkirkan deskripsii-deskripsi stereotip dan mitos-mitos kultural. Kita harus berupaya keras memahami pengaruh-pengaruh budaya terhadap pembentukan pemahaman diri dan identitas kemasyarakatan klien. Kita harus menghargai klien sebagai seorang yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya mereka dan mencoba mengerti keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, sikap-sikap, dan perilaku-perilaku mereka.
3.      Kesulitan-kesulitan dalam menghadapi klien-klien dari kultur-kultur yang berbeda
Dalam dunia modern yang kita
tinggali ini, banyak orang yang harus
menghadapi kondisi dimana nila
-nilai dan perilaku-perilaku kultural
yang berlaku di negara tempat
mereka tinggal berbeda dan dalam
beberapa hal bertentangan dengan
keyakinan-keyakinan kultural
keluarga, sahabat, dan kelompok
etnis mereka dari mana berasal.
4.      Hidup dalam budaya yang berbeda
Satu problem utama bagi banyak klien yang hidup dalam sebuah masyarakat yang lingkungan kulturalnya berbeda dengan lingkungan kultural keluarga mereka adalah perasaan tertekan akibat konflik-konflik initernal. Konflik-konflik ini terjadi ketika niai-nilai sosial da moral keluarga mereka yang terbentuk seara kultural bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Persoalan-persoalan yang dibawa klien ke tempat konseling yanng berkaitan dengan penyesuaian diri mereka sebagai konsekuensi dari hidup di negara dan budaya yang berbeda dengan budaya mereka, berbeda-beda, tetapi sering kali berkaitan dengan hal-hal seperti:
·         Diskriminasi budaya dan ras;
·         Hubunga lintas budaya dimana suami atau istri berasal dari budaya yang berbeda;
·         Konflik antargenerasi;
·         Isu-isu dan kesetaraan gender;
·         Kondisi hidup di lingkungan budaya baru dimana hal-hal seperti bahsa, tempat tinggal,  pendidikan, dan pekerjaan menimbulkan tekanan.

 Pentingnya Konseling Lintas Budaya
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien memiliki perbedaan. Antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaaan itu biasanya mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku, dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan kepada orang yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi pada mereka berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling ini dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Jawa Tengah, mereka sama-sama berasa dari suku atau etnis Jawa. Namun yang perlu diingat, bahwa ada perbedaan mendasar antara orang Jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur terlihat agak kasar sedangkan Jawa Tengah lebih halus.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Menurut Sue, konselor lintas budaya yang efektif
Selain itu konselor juga harus terlibat aktif melawan prasangka dan diskriminasi budaya, khususnya pada konselor yang bekerja di instansi pendidikan. Para konselor di sekolah dasar menghadapi tantangan luar biasa untuk mencegah anak mengembangkan prasangka diskriminatif yang bisa terus dibawanya seumur hidup. Konselor, guru dan keluarga anak didik harus menanamkan sikap toleransi, menghargai dan memerangi diskriminasi. Konselor juga harus memberikan perhahatian khusus terhadap problem dan kebutuhan anak dan remaja minoritas
1.      Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia ini berbeda
2.      Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik dan moral.
3.      Memahami bahwa sosiopolotik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok.
4.      Berbagi pandangan dengan klien dan tidak tertutup.
Jadi, konseling lintas budaya ini sangat penting dipelajari oleh seorang calon konselor maupun konselor agar konselor dapat menyadari keberadaan budaya klien dan sensitif terhadap kebudayaan klien. Sehingga dapat menghargai perbedaan dan hal itu dapat membuat konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dengan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan. Selain itu konselor juga dapat memahami bagaimana ras, kebudayaan, etnik, dan sebagainya yang mungkin mempengaruhi struktur kepribadian, pilihan karir, manifestasi gangguan psikologis, perilaku mencari bantuan, dan kecocokan dan ketidakcocokan dari pendekatan konseling.

      Sejarah multikulturalisme

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif(istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris(English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[7] Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elitNamun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme.[8] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.

Jenis Multikulturalisme

Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktek multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
1.      Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2.      Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3.      Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4.      Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5.       Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Kesimpulan
Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

Saran
Mahasiswa dapat memahami urgensi konseling lintas budaya dalam kehidupan multikultural
 dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu antropologi.









Daftar pustaka

http://anamalabinsamudi.blogspot.co.id/2017/01/psikologi-lintas-budaya-dan-konseling.html

0 Response to "Artikel memahami urgensi konseling lintas budaya dalam kehidupan multikultural"

Post a Comment

Trending Stories

wdcfawqafwef