Memahami Konsep Konseling lintas budaya
Citra Madian Ramadhani (15130048)
Bimbingan dan konseling
Ringkasan
materi
Istilah budaya berasal
dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat,
sesuyi yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan
itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa
Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapt
dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang dijadikan
milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku individu
sebgai anggota masyarakat terkait dengan budaya yang diwujudkan dalam berbagai
pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku
manusia untuk memenuhi kebutuhanya.
Kata Kunci : memahami konseling lintas budaya
Pendahuluan
Beneka tuggal Ika
itu yang terucap dari seluruh Rakyat Indonesia karena keragaman Sosial, Budaya,
Politik, dan kemamapuan Ekonomi adalah suatu realita masarakat dan bagsa
indonesia. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan pelayanan
konseling.
Konseling adalah
suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan
klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan
memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam
konseling.
Penerapan konseling lintas
budaya mengharuskan
konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan
budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara
konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi
diversitas budaya terhadap proses konseling
program
studi bimbingan dan konseling bertujuan untuk menghasilkan tenaga pendidik yang mampu
melaksanakan pelayanan konseling bagi siswa di sekolah dan warga masyarakat
luas. Konselor harus menguasai Standar Kompetensi untuk memberikan pelayanan
profesi konseling kepada para individu, baik perorangan maupun kelompok, dalam
setting sekolah maupun luar sekolah, sesuai dengan permasalahan dan tuntutan
perkembangan mereka, menurut prinsip-prinsip keilmuan, teknologi dan
pelayanan konseling profesional.
Metode
Pada artikel ini saya mencari
dan mengumpulkan informasi dari web
Pembahasan
Istilah budaya berasal
dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat,
sesuyi yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan
itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa
Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya
dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang
dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku individu
sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan dalam berbagai
pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku
manusia untuk memenuhi kebutuhanya.
Manusia tidak
dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang
ditampilkan. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak
dikaji dan dianalisis oleh ilmu antropologi. Sedangkan bagaimana individu
berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah
miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan
bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut
pandang budayanya, outside dan within him (Kneller, 1978). Manusia adalah
produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial, organisasi, budaya
dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah laku
yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif
manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer,
Kammeyer, dan Yetman, 1979).
Pelayanankonseling hakikatnya merupakan proses
pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis
dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara satu dengan individu
lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari
lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu
dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur
budaya.
Keragaman
budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan
komunikasi. Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri
individu karena kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih
baik. Sedangkan bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan
manusia untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya.
Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan
nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan
timbul persoalan. Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika
konselor dan klien merasakan persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya
mereka berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh dinamakan konseling lintas
budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya sama tetapi
masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan
lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah
interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi
dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu
dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut
dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas
budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya
perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan
yang lebih luas.
Unsur-unsur Pokok dalam
Konseling Lintas Budaya
Dalam
pengkajian isu tentang budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur
pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu :
1. Individu adalah
penting dan khas
2. Konselor membawa
nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
3. Klien yang datang
menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan
budayanya.
Selanjutnya Brown menyatakan bahwa
keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis
kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang
berpengaruh dalam dalam konseling adalah pandangan mengenai
sifat hakikat manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi
tindakan. Sehubungan dengan hal tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya
dengan Morris Jacson mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran
sosialisasi yang melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa.
Lima lingkup yang dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi
nasional (negara), regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi
manusia sebagai individu dalam berbagai bentuk kondisi.
Dari
paparan di atas dapat dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu
diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
·
Klien sebagai individu yang unik, yang
memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa,
nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.
·
Konselor sebagai individu yang unik juga tidak
terlepas dari pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
·
Dalam hubungan konseling konselor harus
menyadari unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan
mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas
Budaya
1.
Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
Khusus dalam menghadapi klien yang
berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M.
Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya
selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling
lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
·
Pengetahuan dan informasi yang spesifik
tentang kelompok yang dihadapi
·
Pemahaman mengenai cara kerja sistem
sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan
terhadap kelompok tersebut.
·
Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan
eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
·
Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
·
Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun
non-verbal
·
Memiliki keterampilan dalam memberikan
intervensi demi kepentingan klien
·
Menyadari batas-batas kemampuan dalam
memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.
2. Sikap Konselor
Para
konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat
mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh
klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara
efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri
menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam
melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu
pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling.
Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai
agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor
dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
·
Dimensi keyakinan dan sikap
·
Dimensi pengetahuan
·
Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai
yang dimilki individu
Sementara itu, Rao (1992)
mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau
tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka
konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila
kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau
kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap
netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk
memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
Konselor
harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan
kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping
itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta
kemampuan untuk mencapai tujuan.
b. Nilai-nilai
Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap
nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan
nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan
nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.
c. Penerimaan
Penerimaan
konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana
yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.
d. Pemahaman
Konselor memahami
klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu(1)
pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami
kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai
dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan
tingkatan tersebut.
e. Rapport
Konselor
menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar
terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.
f. Empaty
Kemampuan
konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.
3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
Isu konselor dalam
penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat
memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar
belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron
(1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
·
Konselor harus terlatih secara khusus dalam
perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
·
Penciptaan situasi konseling harus atas
persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan
dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
·
Konselor harus fleksibel dalam menerapkan
teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
·
Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang
dan diuji.
·
Dalam situasi konseling multi budaya yang
lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi,
stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
·
konselor menyadari reaksi-reaksi mereka
terhadap perilaku-perilaku umum.
Aspek-aspek yang harus di kaji melalui
diskusi kelompok
1.
Aspek-aspek Budaya
·
Bahasa
·
Agama
·
Kekerabatan
·
Adat Perkawinan
·
Sosial Ekonomi
·
Tata Pergaulan
·
Tradisi Khusus
2.
Permasalahan yang dialami
·
Permasalahan inter etnis
·
Permasalahan antar etnis
·
Permasalahan umum,
Kesimpulan
menjelaskan
budaya dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang
dijadikan milik manusia itu sendiri. Manusia tidak dapat terlepas dari budaya,
keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian
individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan
manusia
Saran
Semoga
mahasiswa dapat memahasi konseling lintas budaya agar menjadi pribadi yang
bnaik .
dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan
dianalisis oleh ilmu antropologi.
Daftar pustaka
http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2013/03/bimbingan-kelompok.html
0 Response to " artikel memahami konsep konseling lintas budaya"
Post a Comment